RSS

Arsip Bulanan: Desember 2009

Wasiat Para Imam Mazhab

Oleh: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Kiranya ada gunanya di sini saya paparkan sebagian atau seluruhnya ucapan-ucapan yang saya ketahui dari mereka. Semoga kutipan ini dapat menjadi pelajaran dan peringatan bagi mereka yang taklid kepada para Imam Mazhab atau kepada yang lainnya dengan cara membabi buta.
Berpegang pada Imam Mazhab dan pendapat mereka seolah-olah hal itu seperti sebuah firman yang turun dari langit. Allah berfirman.

“Artinya : Ikutilah oleh kalian apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia. Sungguh sedikit sekali kamu ingat kepadanya”.  Qs.7:3

Berikut ini disebutkan beberapa pendapat Imam Mazhab yang dapat menjelaskan kebenaran kepada para pengikut mereka:

1.-Imam Abu Hanifah Rahimahullaah  (MazHab Hanifah)
Imam mazhab yang pertama adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit.
Imam Abu Hanifah yang ajaran-ajaran fiqihnya menjadi pijakan pengikutnya. Para muridnya telah meriwayatkan berbagai macam perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yaitu kewajiban berpegang pada Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan sikap membeo pendapat-pendapat para imam bila bertentangan dengan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[1]-Sikap taqlid inilah yang disindir oleh Imam Thahawi ketika beliau menyatakan : “Tidak akan taqlid kecuali orang yang lemah pikirannya atau bodoh”. Ucapan ini dinukil oleh Ibnu Abidin dalam kitab Rasmu Al-Mufti (I/32), dari kitab Majmu’atul Rasail-nya.

UCAPAN-UCAPAN (WASIAT) BELIAU:.
[1] “Artinya : Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku”.
Ibnu Abidin dalam kitab Al-Hasyiyah (I/63) dan Kitab Rasmul Mufti (I/4) dari kumpulan-kumpulan tulisan Ibnu Abidin. Juga oleh Syaikh Shalih Al-Filani dalam Kitab Iqazhu Al-Humam hal. 62 dan lain-lain, Ibnu Abidin menukil dari Syarah Al-Hidayah, karya Ibnu Syhahnah Al-Kabir, seorang guru Ibnul Humam, yang berbunyi.
“Bila suatu Hadits shahih sedangkan isinya bertentangan dengan madzhab kita, yang diamalkan adalah Hadits”. Hal ini merupakan madzhab beliau dan tidak boleh seorang muqallid menyalahi Hadits shahih dengan alasan dia sebagai pengikut Hanafi, sebab secara sah disebutkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau berpesan : “Jika suatu Hadits itu shahih, itulah madzhabku”. Begitu juga Imam Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari Abu Hanifah dan para imam lain pesan semacam itu.

Komentar saya : Hal ini menunjukkan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan mereka. Mereka mengisyaratkan bahwa mereka tidaklah menguasai semua Hadits. Hal ini dengan tegas dinyatakan oleh Imam Syafi’i seperti akan tersebut di belakang nanti. terkadang  di antara para imam itu pendapatnya menyalahi Hadits karena hal itu belum sampai kepada mereka. Oleh karena itu, mereka menyuruh kita untuk berpegang pada Hadits dan menjadikannya sebagai madzhab mereka.

[2] “Artinya : Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya”

Ibnu ‘Abdul Barr dalam kitab Al-Intiqa fi Fadhail Ats-Tsalasah Al-Aimmah Al-Fuqaha hal. 145, Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in (II/309), Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiyah Al-Bahri Ar-Raiq (VI/293), dan Rasmu Al-Mufti hal. 29 dan 32, Sya’rani dalam Al-Mizan (I/55) dengan riwayat kedua, sedang riwayat ketiga diriwayatkan Abbas Ad-Darawi dalam At-Tarikh, karya Ibnu Ma’in (VI/77/1) dengan sanad shahih dari Zufar. Semakna dengan itu diriwayatkan dari beberapa orang sahabatnya, yaitu Zufar, Abu Yusuf, dan Afiyah bin Yazid, seperti termaktub dalam Al-Iqazh hl. 52. Ibnu Qayyim menegaskan shahihnya riwayat ini dari Abu Yusuf (II/344) dan memberi keterangan tambahan dalam Ta’liqnya terhadap kitab Al-Iqazh hal. 65, dikutip dari Ibnu ‘Abdul Barr, Ibnul Qayyim dan lain-lain.

Komentar saya : Jika ucapan semacam ini yang mereka katakan terhadap orang-orang yang tidak mengetahui dalil mereka, bagaimana lagi ucapan mereka terhadap orang-orang yang tahu bahwa dalil (Hadits) berlawanan dengan pendapat mereka, lalu mereka mengeluarkan fatwa yang berlawanan dengan Hadits.?. Harap Anda perhatikan pernyataan ini, sebab pernyataan tersebut sudahlah cukup untuk menghentikan sikap taqlid buta. Oleh karena itulah, sebagian ulama yang bertaqlid menolak untuk menisbatkan pesan tersebut kepada Abu Hanifah, sebab Abu Hanifah melarang seseorang mengikuti omongannya bila dia tahu dalilnya.

Pada riwayat lain dikatakan bahwa beliau mengatakan : “Orang yang tidak mengetahui dalilku, haram baginya menggunakan pendapatku untuk memberikan fatwa”. Pada riwayat lain ditambahkan : “Kami hanyalah seorang manusia. Hari ini kami berpendapat demikian tetapi besok kami mencabutnya” . Pada riwayat lain lagi dikatakan : “Wahai Ya’qub (Abu Yusuf), celakalah kamu ! Janganlah kamu tulis semua yang kamu dengar dariku. Hari ini saya berpendapat demikian, tapi hari esok saya meninggalkannya. Besok saya berpendapat demikian, tapi hari berikutnya saya meninggalkannya” .

Komentar saya : Karena imam ini sering kali mendasarkan pedapatnya pada qiyas, karena ia melihat qiyas itu lebih kuat ; atau telah sampai kepadanya Hadits Nabi, lalu ia ambil Hadits ini, lalu dia meninggalkan pendapatnya yang terdahulu. Sya’rani, dalam kitab Al-Mizan (I/62), berkata yang ringkasnya.

“Keyakinan kami dan keyakinan semua orang yang arif tentang Imam Abu Hanifah ialah jika beliau masih hidup sampai masa pembukuan Hadits dan sesudah ahli Hadits menjelajah semua negeri dan pokok wilayah Islam untuk mencarinya, niscaya beliau akan berpegang pada Hadits-Hadits dan meninggalkan setiap qiyas yang dahulu digunakannya, sehingga qiyas hanya sedikit dipakai pada madzhab beliau sebagaimana pada madzhab-madzhab lainnya. Akan tetapi, karena pada masanya dalil-dalil Hadits ada pada para pengikutnya yang terpencar-pencar di berbagai kota, kampung, dan pojok-pojok negeri Islam, penggunaan qiyas pada madzhab Hanafi lebih banyak dibanding dengan madzhab lainnya, karena keadaan terpaksa, sebab tidak ada nash tentang masalah-masalah yang beliau tetapkan berdasarkan qiyas. Hal ini berlainan dengan madzhab-madzhab lain. Para ahli hadits pada saat itu telah menjelajah berbagai penjuru wilayah Islam untuk mencari Hadits dan mengumpulkannya dari berbagai kota
dan kampung sehingga Hadits-hadits tentang hukum bisa terkumpul semuanya. Inilah yang menjadi sebab banyaknya pemakaian qiyas dalam madzhab beliau, sedangkan pada madzhab-madzhab yang lain sedikit. Sebagian besar dari pendpat-pendapat Hanafi ini dinukil oleh Abu Al-Hasanat dalam kitab An-Nafi’ Al-Kabir hal. 135 dan beliau memberi komentar dengan keterangan yang dapat mejelaskan dan menguatkan pendapatnya. Silakan baca kitab tersebut.

Komentar saya : Menjadi suatu udzur dari Abu Hanifah bila pendapatnya ternyata bertentangan dengan Hadits-hadits shahih dan udzur dia ini pasti termaafkan. Allah tidak memaksa seseorang di luar kemampuannya. Jadi, beliau tidak boleh dicerca dalam hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang yang bodoh. Orang justru wajib hormat kepada beliau, sebab dia adalah salah seorang di antara imam kaum muslimin yang telah memelihara agama ini dan menyampaikan kepada kita berbagai bagian dari agama. Beliau mendapat pahala atas segala usahanya, yang benar atau yang keliru. Di samping itu, tidak seseorang yang menghormati beliau boleh terus meneru berpegang pada pendapat-pendapat beliau yang bertentangan dengan Hadits-hadits shahih, sebab cara semacam itu bukanlah madzhabnya, sebagaimana telah Anda lihat sendiri pernyataan-pernyata anya dalam hal ini. Mereka para imam yang saling berbeda pendapat itu, ibarat lembah-lembah dan kebenaran bisa ada pada lembah
yang satu atau mungkin pada lembah lainnya. Oleh karena itu, wahai Tuhan kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan keimanan ; janganlah Engkau jadikan hati kami dengki kepada orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

[3] “Artinya : Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu”.

Al-Filani  dalam kitab Al-Iqazh hal. 50, menisbatkannya kepada Imam Muhammad juga, kemudian ujarnya. “Hal semacam ini dan lain-lainnya yang serupa bukanlah menjadi sifat mujtahid, sebab dia tidak mendasarkan hal itu pada pendapat mereka, bahkan hal semacam ini merupakan sifat muqallid”.

Komentar saya : Berdasarkan hal diatas, Sya’rani dalam Kitab Al-Mizan (I/26) berkata : “Jika saya berkata, apa yang harus saya lakukan terhadap Hadits-hadits shahih setelah kematian imamku, dimana beliau dahulu tidak mengambil Hadits tersebut”.

Jawabnya : Anda seharusnya mengamalkan Hadits tersebut, sebab sekiranya imam Anda mengetahui Hadits-hadits itu dan menurutnya shahih, barangkali beliau akan menyuruh Anda juga berbuat begitu sebab para imam itu semuanya terikat pada Syari’at. Barangsiapa yang mengikuti hal itu, kedua tangannya akan meraih kebajikan. Akan tetapi, barangsiapa yang mengatakan :”Saya tidak mau mengamalkan suatu Hadits kecuali kalau hal itu diamalkan oleh imam saya”, akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kebaikan, seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang taqlid kepada imam madzhab. Yang lebih utama untuk mereka adalah mengamalkan setiap Hadits yang shahih yang ada sepeninggal imam mereka, demi melaksanakan pesan para imam tersebut. Menurut keyakinan kami, sekiranya mereka itu masih hidup dan mendapatkan Hadits-hadits yang shahih sepeninggal mereka ini, niscaya mereka akan mengambilnya dan melaksanakan isinya serta meninggalkan semua qiyas yang dahulu pernah
mereka lakukan atau setiap pendapat yang dahulu pernah mereka kemukakan.

2.-Imam Malik bin Anas (Mazhab Maliki)
Imam Malik bin Anas menyatakan :

[A] “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ambillah ; dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah” . [1]
[1]    Ibnu ‘Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam kitabnya Ushul Al-Ahkam (VI/149), begitu pula Al-Fulani hal. 72.

[B] “Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri”. [2]

[2]-Dikalangan ulama mutaakhir hal ini populer dinisbatkan kepada Imam Malik dan dinyatakan shahihnya oleh Ibnu Abdul Hadi dalam kitabnya Irsyad As-Salik (1/227). Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdul Barr dalam kitab Al-Jami’ (II/291), Ibnu Hazm dalam kitab Ushul Al-Ahkam (VI/145, 179), dari ucapan Hakam bin Utaibah dam Mujahid. Taqiyuddin Subuki menyebutkannya dalam kitab Al-Fatawa (I/148) dari ucapan Ibnu Abbas. Karena ia merasa takjub atas kebaikan pernyataan itu, ia berkata : “Ucapan ini diambil oleh Mujahid dari Ibnu Abbas, kemudian Malik mengambil ucapan kedua orang itu, lalu orang-orang mengenalnya sebagai ucapan beliau sendiri”.

Komentar saya : Kemudian Imam Ahmad pun mengambil ucapan tersebut. Abu Dawud dalam kitab Masaail Imam Ahmad hal. 276 mengatakan : “Saya mendengar Ahmad berkata : Setiap orang pendapatnya ada yang diterima dan ditolak, kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[C] Ibnu Wahhan berkata : “Saya pernah mendengar Malik menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki dalam wudhu, jawabnya : ‘Hal itu bukan urusan manusia’. Ibnu Wahhab berkata : ‘Lalu saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit, kemudian saya berkata kepadanya : ‘Kita mempunyai Hadits mengenai hal tersebut’. Dia bertanya : ‘Bagaimana Hadits itu ?. Saya menjawab : ‘Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dari Yazid bin ‘Amr Al-Mu’afiri, dari Abi ‘Abdurrahman Al-Habali, dari Mustaurid bij Syaddad Al-Qurasyiyyi, ujarnya : ‘Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya’. Malik menyahut :’ Hadits ini hasan, saya tidak mendengar ini sama sekali, kecuali kali ini. ‘Kemudian di lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh orang itu untuk menyela-nyela jari-jari
kakinya”. [3]-[3]-Muqaddimah kitab Al-Jarh Wa At-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam Sunnan-nya (I/81)

3.-Imam Syafi’i (Mazhab Syafi’i)
Riwayat-riwayat yang dinukil orang dari Imam Syafi’i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus [1] dan pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih beruntung. [1]- Ibnu Hazm berkata dalam kitab VI/118.  “Para ahli fiqh yang ditaqlidi telah menganggap batal taqlid itu sendiri. Mereka melarang para pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam Syafi’i. Beliau dengan keras menegaskan agar mengikuti Hadits-hadits yang shahih dan berpegang pada ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah selama tidak ada orang lain yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau sepenuhnya berlepas diri dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan dengan terang-terangan mengumumkan hal ini. Semoga Allah memberi manfaat kepada beliau dan memperbanyak pahalanya. Sungguh pernyataan beliau menjadi sebab mendapatlan kebaikan yang banyak”.

Beliau berpesan (berwasiat) antara lain.
[A]-“Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku” [2] [2]    Hadits Riwayat Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi’i seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu ‘Asakir XV/1/3, I’lam Al-Muwaqqi’in (II/363-364) , Al-Iqazh hal.100

[B]-“Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang” [3] [3]    Ibnul Qayyim (II/361), dan Al-Filani hal. 68

[C]-“Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkan pendapatku itu” [4]
[4]-Harawi dalam kitab Dzamm Al-Kalam (III/47/1), Al-Khathib dalam Ihtijaj Bi Asy-Syafi’i (VIII/2), Ibnu Asakir (XV/9/1), Nawawi dalam Al-Majmu’ (I/63), Ibnul Qayyim (II/361), Al-Filani hal. 100 dan riwayat lain oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX/107) dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (III/284, Al-Ihsan) dengan sanad yang shahih dari beliau, riwayat semakna.

[D]-“Bila suatu Hadits shahih, itulah mazhabku” [5]
[5]-Nawawi, dalam Al-Majmu’, Sya’rani (I/57) dan ia nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani hal. 107. Sya’rani berkata : ” Ibnu Hazm menyatakan Hadist ini shahih menurut penilaiannya dan penilaian imam-imam yang lain”.

Komentar saya : Pernyataan beliau yang akan diuraikan setelah komentar dibawah ini menunjukkan pengertian yang dimaksud secara jelas. Nawawi berkata ringkasnya :
“Para sahabat kami mengamalkan Hadits ini dalam masalah tatswib (mengulang kalimat adzan), syarat orang ihram melakukan tahallul karena sakit, dan lain-lain hal yang sudah populer dalam kitab-kitab madzhab kami. Ada di antara sahabat-sahabat kami yang memberikan fatwa berdasarkan Hadits antara lain : “Abu Ya’qub Buwaiti, Abu Al-Qasim Ad-Dariqi, dan sahabat-sahabat kami dari kalangan ahli Hadits yang juga berbuat demikian, yaitu Imam Abu bakar, Baihaqi, dan lain-lain. Mereka adalah sejumlah sahabat kami dari kalangan terdahulu. Bila mereka melihat pada suatu masalah ada Haditsnya, sedangkan Hadits tersebut berlainan dengan madzhab Syafi’i, mereka mengamalkan Hadits tersebut dan berfatwa : “Madzhab Syafi’i sejalan dengan Hadits ini”.

Syaikh Abu Amer berkata : “Bila seorang dari golongan Syafi’i menemukan Hadits bertentangan dengan madzhabnya, hendaklah ia mempertimbangkan Hadits tersebut. Jika memenuhi syarat untuk berijtihad, secara umum atau hanya mengenai hal tersebut, dia mempunyai kebebasan untuk berijtihad, secara umum atau hanya mengenai hal tersebut, dia mempunyai kebebasan untuk berijtihad, Akan tetapi, jika tidak memenuhi syarat, tetap berat untuk menyalahi Hadits sesudah melakukan kajian dan tidak menemukan jawaban yang memuaskan atas perbedaan tersebut, hendaklah ia mengamalkan Hadits jika ada Imam selain Syafi’i yang mengamalkan Hadits tersebut. Hal ini menjadi hal yang dimaafkan bagi yang bersangkutan untuk meninggalkan imam madzhabnya dalam masalah tersebut dan apa yang menjadi pendapatnya adalah pilihan yang baik. wallahu A’lam.

Komentar Saya : Ada suatu keadaan lain yang tidak dikemukakan oleh Ibnu Shalah, yaitu bagaimana kalau ternyata orang itu tidak mendapatkan imam lain sebelumnya yang mengamalkan Hadits tersebut ? Apa yang harus ia lakukan ? Hal ini dijawab oleh Taqiyuddin Subuki dalam Risalah-nya tentang maksud ucapan Imam Syafi’i “Apabila ada Hadits yang shahih …” Juz 3 hal, 102 :

“Menurut pendapatku, yang lebih utama adalah mengikuti Hadits. Hendaklah yang bersangkutan menganggap seolah-olah dia berada di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mendengar beliau bersabda seperti itu. Apakah ia layak untuk mengesampingkan pengamalan Hadits semacam itu ? Demi Allah, tidak. Setiap orang mukallaf bertanggung jawab sesuai dengan tingkat pemahamannya (dalam mengamalkan Hadits)”. Pembahasan tentang hal ini dapat Anda baca pada kitab I’lam Al-Muwaqqi’in (II/302 dan 370), Al-Filani dalam kitab Iqazhu Humami Ulil Abrar…, sebuah kitab yang tidak ada duanya dalam masalah ini. Para pencari kebenaran wajib mempelajarinya dengan serius dan penuh perhatian terhadap kitab ini.

[E]-“Kalian [6] lebih tahu tentang Hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di mana pun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya”
[6]-Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafi’i hal. 94-95, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX/106), Al-Kahtib dalam Al-Ihtijaj (VIII/1), diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asakir dari beliau (XV/9/1), Ibnu ‘Abdil Barr dalam Intiqa hal. 75, Ibnu Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hal. 499, Al-Harawi (II/47/2) dengan tiga sanad, dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya, bahwa Imam Syafi’i pernah berkata kepadanya : “….. Hal ini shahih dari beliau. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim menegaskan penisbatannya kepada Imam Ahmad dalam Al-I’lam (II/325) dan Filani dalam Al-Iqazh hal. 152”. Selanjutnya, beliau berkata : “Baihaqi berkata : ‘Oleh karena itu, Imam Syafi’i banyak mengikuti Hadits. Beliau mengambil ilmu dari ulama Hizaz, Syam, Yaman, dan Iraq’. Beliau mengambil semua Hadits kepada madzhab yang tengah digandrungi oleh penduduk negerinya, sekalipun kebenaran yang dipegangnya menyalahi orang
lain. Padahal ada ulama-ulama sebelumnya yang hanya membatasi diri pada madzhab yang dikenal di negerinya tanpa mau berijtihad untuk mengetahui kebenaran pendapat yang bertentangan dengan dirinya”. Semoga Allah mengampuni kami dan mereka”.

[F]-“Bila suatu masalah ada Haditsnya yang sah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati” [7]-[7] -Au Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX/107), Al-Harawi (47/1), Ibnu Qayyim dalam Al-I’lam (II/363) dan Al-Filani hal. 104

[G] “Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna” [8]- [8]    Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy-Syafi’i hal. 93, Abul Qasim Samarqandi dalam Al-Amali seperti pada Al-Muntaqa, karya Abu Hafs Al-Muaddib (I/234), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX/106), dan Ibnu Asakir (15/101) dengan sanad shahih.

[H] “Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku” [9]-[9]-Ibnu Abi Hatim hal 93, Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Asakir (15/9/2) dengan sanad shahih.[10]    Ibnu Abi Hatim, hal. 93-94

[I]-“Setiap Hadits yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku” [10]- [10]    Ibnu Abi Hatim, hal. 93-94

4.-Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hambali)
Ahmad bin Hanbal merupakan seorang imam yang paling banyak menghimpun Hadits dan berpegang teguh padanya, sehingga beliau benci menjamah kitab-kitab yang memuat masalah furu’ dan ra’yu [1]- [1]    Ibnu Jauzi dalam Al-Manaqib hal. 192
.
Beliau menyatakan (berwasiat) sebagai berikut :
[A] “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Sayfi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil [2]-[2]-Al-Filani hal. 113 dan Ibnul Qayyim dalam Al-I’lam (II/302)

Pada riwayat lain disebutkan  : “Janganlah kamu taqlid kepada siapapun mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau menerima)” Kali lain dia berkata : “Yang dinamakan ittiba’ yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi’in boleh dipilih”. [3]- [3]- Abu Dawud dalam Masa’il Imam Ahmad hal. 276-277

[B] ” Pendapat Auza’i, Malik dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya semua ra’yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada atsar (Hadits)” [4]- [4]-Ibnu Badul Barr dalam Al-Jami’ (II/149)

[C] “Barangsiapa yang menolak Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berada di jurang kehancuran” [5]- [5]-Ibnul Jauzi hal. 142

Demikianlah pernyataan para imam dalam menyuruh orang untuk berpegang teguh pada Hadits dan melarang mengikuti mereka tanpa sikap kritis. Pernyataan mereka itu sudah jelas tidak bisa dibantah dan diputarbalikkan lagi. Mereka mewajibkan berpegang pada semua hadits yang shahih sekalipun bertentangan dengan sebagian pendapat mereka tersebut dan sikap semacam itu tidak dikatakan menyalahi madzhab mereka dan keluar dari metode mereka, bahkan sikap itulah yang disebut mengikuti mereka dan berpegang pada tali yang kuat yang tidak akan putus. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya bila seseorang meninggalkan Hadits-hadits yang shahih karena dipandang menyalahi pendapat mereka. Bahkan orang yang berbuat demikian telah durhaka kepada mereka dan menyalahi pendapat-pendapat mereka yang telah dikemukakan di atas. Allah berfirman.

“Artinya : Demi Tuhanmu, mereka itu tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka, kemudian mereka tidak berkeberatan terhadap keputusanmu dan menerimanya dengan sepenuh ketulusan hati”. [An-Nisa’ : 65]

Allah juga berfirman.: ” Artinya : Orang-orang yang menyalahi perintahnya hendaklah takut fitnah akan menerima mereka atau azab yang pedih akan menimpa mereka”. [An-Nur : 63]

Imam Hafizh Ibnu Rajab berkata :
“Kewajiban orang yang telah menerima dan mengetahui perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyampaikan kepada ummat, menasihati mereka, dan menyuruh mereka untuk mengikutinya sekalipun bertentangan dengan pendapat mayoritas ummat. Perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih berhak untuk dimuliakan dan diikuti dibandingkan dengan pendapat tokoh mana pun yang menyalahi perintahnya, yang terkadang pendapat mereka itu salah. Oleh karena itulah, para sahabat dan para tabi’in selalu menolak pendapat yang menyalahi Hadits yang shahih dengan penolakan yang keras [6] yang mereka lakukan bukan karena benci, tetapi karena rasa hormat. Akan tetapi, rasa hormat mereka kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh lebih tinggi daripada yang lain dan kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jauh diatas mahluk lainnya. Bila perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata berlawanan dengan perintah yang lain, perintah
beliau lebih utama didahulukan dan diikuti, tanpa sikap merendahkan orang yang berbeda dengan  perintah beliau, sekalipun orang itu mendapatkan ampunan dari Allah. [7]  Bahkan orang yang mendapat ampunan dari Allah, yang pendapatnya menyalahi perintah Rasuluallah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak merasa benci bila seseorang meninggalkan pendapatnya, ketika ia mendapati bahwa ketentuan Rasulullah berlawanan dengan pendapatnya. [8]

[6]-Komentar saya : “Bahkan bapak-bapak dan ulama-ulama mereka juga begitu, sebagaimana diriwayatkan oleh Thahawi dala Syarah Ma’anil Atsar (I/372). Abu Ya’la dalam Musnad-nya (III/1317) dengan sanad jayyid dan rawi-rawinya orang kepercayaan, dari Salim bin Abdullah bin Umar, ujarnya : “Saya pernah duduk bersama Ibnu ‘Umar di dalam masjid. Tiba-tiba salah seorang laki-laki dari penduduk Syam datang kepadanya, lalu menanyakan masalah umrah dalam haji tamattu”. Ibnu Umar menjawab :”Baik”. Orang itu bertanya lagi : “Benarkan bapakmu dahulu melarang melakukan hal ini?” Jawabnya “Celakalah engkau. Sekiranya bapakku dulu pernah melarang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya dan menyuruh berbuat seperti itu. Apakah engkau akan mengambil ucapan bapakku ataukah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?” Orang itu berkata : “Mengambil perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Ibnu Umar berkata : “Pergilah dari aku” (Hadits
Riwayat Ahmad, Hadits No. 5700). Semakna dengan riwayat ini disebutkan oleh Tirmidzi pada Syarah Tahfah (II/82) dan disahkan  olehnya. Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asakir (VII/51/1) dari Ibnu Abu Dzi’ib. Ia berkata : “Sa’ad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin ‘Auf pernah menjatuhkan hukuman kepada seseorang berdasarkan pendapat Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, lalu saya sampaikan kepadanya riwayat dari Rasulullah yang berlainan dengan hukum yang telah ditetapkannya. Sa’ad berkata kepada Rabi’ah : ‘Orang ini adalah Ibnu Abi Dzi’ib, seorang yang saya pandang dapat dipercaya. Dia meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam riwayat yang berlainan dengan ketetapan yang aku putuskan. ‘Rabi’ah berkata kepadanya : ‘Anda telah berijtihad dan keputusan Anda ada lebih dulu’. Sa’ad berkata :’Duhai, apakah ketetapan Saad terus berlaku dan ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diberlakukan ? Mestinya aku menolak ketetapan Sa’ad bin Ummi Sa’ad dan
aku jalankan ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam’. Lalu Sa’ad meminta surat keputusannya, kemudian merobeknya dan membuat ketetapan baru ini kepada orang yang dikenai putusan”.

[7]-Komentar saya : “Bahkan orang seperti itu mendapat pahala sebagaimana sabda Rasulullah Shallalalhu ‘alaihi wa sallam : “Apabila seorang hakim berijtihad dalam menetapkan suatu hukum dan ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala ; jika ia berijtihad dalam menetapkan hukum dan ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala”. (Hadits Riwayat  Bukhari dan Muslim dan lain-lain).

[8]-Beliau nukil dalam Kitab Ta’liq ‘ala Iqazhul Humam hal. 93

Komentar saya : Bagaimana mereka (para imam) membenci sikap semacam itu, padahal mereka sendiri menyuruh para pengikutnya untuk berbuat begitu, seperti yang telah disebut keterangannya di atas.  Mereka mewajibkan para pengikutnya untuk meninggalkan pendapat-pendapat mereka, bila bertentangan dengan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Imam Syafi’i menyuruh para muridnya untuk mengatasnamakan dirinya terhadap setiap Hadits yang shahih, sekalipun beliau tidak meriwayatkannya, atau bahkan pendapatnya bertentangan dengan Hadits itu. Oleh karena itu, Ibnu Daqiq Al-‘Id mengumpulkan berbagai Hadits yang dikategorikan bertentangan dengan pendapat dari salah satu atau seluruh imam yang empat, dalam sebuah buku besar. Beliau mengatakan pada pendahulunya : “Mengatasnamakan para imam mujtahid tentang berbagai masalah yang bertentangan dengan Hadits shahih adalah haram”. Para ahli fiqih yang taqlid kepada mereka wajib mengetahui bahwa tidak boleh
mengatasnamakan masalah itu kepada mereka. sehingga berdusta atas nama mereka. [9]- [9]-Al-Filani hal. 99

Sumber bacaan:
Disalin dari Muqaddimah Shifatu Shalati An-Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa sallama min At-takbiri ilaa At-Tasliimi Ka-annaka Taraahaa, edisi Indonesia Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Media Hidayah hal. 60-63, penerjemah Muhammad Thalib sumber : http://www.almanhaj .or.id

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 21/12/2009 inci Catatan, Home